
Aceh Timur - Tim Pakar Peneliti Sejarah Universitas Samudra, akan merekonstruksikan Bandar Blang Seuguci Idi Tunoeng, sebagai satu-satunya pusat dagang Islam yang sudah terlupakan dan diperkirakan sudah 500 tahun silam.
Bandar Blang Seuguci ini bagian dari aset histori. Seharusnya Tokoh-tokoh, orang tua atau cendikiawan daerah Kabupaten Aceh Timur mengkaji dan mengangkat kembali untuk dijadikan monumen historis atau cagar budaya dan dapat dijadikan aset peninggalan endatu bagi generasi sekarang ini.
Berdasarkan Tim pakar historis yang terdiri atas Dr. Usman Ibrahim, M.Pd., Dr. Bachtiar Akob, M.Pd., dan Dr. Hanafiah, M.Pd., telah melakukan penelitian baik kajian historis dan sosiologi bahwa lokasi Bandar Blang Seuguci, perlu diangkat kepermukaan agar aset historis itu menjadi suatu kebanggaan warga dan pemerintah Daerah Tingkat II Kabupaten Aceh Timur, dan patut diteliti kembali peninggalan leluhur kita 500 tahun yang silam.
Menurut informasi warga dan tokoh masyarakat setempat Rabu (08/09/2021) memberikan keterangan dari rekronstruksi keberadaan bandar Blang Seuguci, yang lokasinya di Idi Tunong sangat berperan penting sejak tahun 1514-1895, pantai timur Aceh dan bagian dari kawasan imperium perdagangan Islam di Asia Tenggara. Mulai zaman kegemilangan sultan Iskandar, Iskandar Tsani sampai Safiatuddin (1607-1676 M).
Dari kajian rekonstruksi tersebut Bandar Blang Seuguci Idi, pantai Timur Aceh sebagai perkampungan yang menghasilkan tanaman lada atau rempah-rempah pada abad ke-17 masehi kala itu. Sehingga Bandar Blang Seuguci, bukan hanya harum di nusantara tetapi sampai ke Persia (Timur Tengah). Sumber informasi dari Ishak Ahmad (07/09/2021), usia 83 tahun, warga Blang Seuguci bahwa disekitar Bandar Bandar Blang Se Guci terdiri dari sejumlah lahan perkebunan lada dan pala; Bukit Pauh, Rumiya, Teupin Panah merupakan pusat perkebunan tanaman lada pada zaman lampau. Ia mengatakan juga penggarap tanaman lada itu kebanyakan orang-orang dari luar Idi, misalnya asal Pusangan, Pasee, Pidie dan Aceh Besar.
Hasil tanaman lada dan pala dari berbagai kebun tersebut, kemudian diangkut ke lokasi Bandar/pelabuhan Blang Seuguci (persis di jembatan Blang Seugusi bagian utara sekarang). Lada dan pala yang dikarungkan, dan dimuat ke dalam Tong Kang, yang siap menunggu pada berlabuh Blang Seguci.
Menurut sumber informasi Sekdes Blang Seuguci bahwa rutenya melalui sungai yang hilir mudik sekitar 6 Km, ke Kuala Idi Rayeuk. Misalnya Blang Seuguci, Bantayan Barat, Bantayan Timur, Meunasah Pu’uk, Keudee Blang, Gampong Jalan, Gampong Baro, Kuala Pusong sampai ke Kuala Idi Rayeuk, kawasan Selat Malaka yang merupakan rute perdagangan Internasional antara Timur dan Barat. Walaupun Bandar/pelabuhan Blang Seuguci bagian dari pantai timur Aceh, tetapi pedagang eksportirnya sebagian besar berasal dari Asia; Cina, India, Gujarat, Persia dan Madinah sewaktu Aceh masih menjalin hubungan dengan Khalifah Turki Usmany sampai abad ke-19 maseh.
Tetapi tatkala masuknya pengaruh Eropah dan terbukanya terusan Suez (1869), kedaulatan Aceh menurun drastis yaitu Belanda memaksa Aceh dengan “Traktat Sumatra” (1871), sehingga posisi kedudukan Uleebalang Idi dan sekitarnya sudah terancam sebagai akibat intervensi Pax Nerlandica dikawasan Selat Malaka. Sampai tahun 1902, peran penting Uleebalang Simpang Ulim, Idi, dan Peureulak sudah menjadi dibawah kendali kekuasaan Pemerintah Belanda di pantai timur, termasuk Kuala Idi dan Bandar/pelabuhan Blang Seguci dibawah kontrol mereka. Sewaktu De Schemaker menjadi Asisten Residen Idi (1902), sebagai tindak lanjut dari program pemberdayaan perekonomian rakyat selama politik pasifikasi dan merintis rute baru dengan memperkenalkan rute Atjeh Tram sepanjang 3 km dari Idi ke selatan; yaitu Bandar Blang Seguci melalui Bantayan sebagai jalur angkutan hasil perkebunan”. Disamping itu pula bahwa jalur Idi–Blang Siguci menjadi sarana untuk angkutan hasil perkebunan tradisional (lada dan pala) dan perkebunan modern (getah dan sawit) dari Paya Peulawi, Keude Geurubak dan sekitarnya.
Peran penting Bandar Blang Se Guci, zaman colonial Belanda fungsinya menjadi dualisme transportasi. Pertama rute Blang Se Guci-Idi-Peureulak-Langsa dan Langsa Bay sebagai rute angkutan penumpang umum, hasil perkebunan yang dimuat dari Blang Se Guci dan dikirim pelabuhan Kuala Langsa, dan Pangkalan Susu. Dari dermaga Kuala Langsa dan pangkala Susu, di ekspor ke Singapura dan Belanda (Eropah Barat). Di bidang militer fungsinya Atjeh Tram dijadikan angkutan serdadu/pasukan marsose pimpinan van Heuetz, yang diangkut dari markas militer, asal Lhokseumawe dan Idi untuk dikirim ke lokasi-lokasi gerilyawan pimpinan Teuku Tapa di pendalaman Aceh.